Kriteria Sifat Adil Yang Harus Dimiliki Dua Saksi Dalam Akad Pernikahan
Akad pernikahan merupakan pintu awal untuk memasuki pintu rumah tangga.
Akad pernikahan bukan hanya sebatas perjanjian. Akan tetapi menjadi satu-satunya
cara untuk menjalin hubungan rumah tangga yang sah.
Demi terwujudnya akad pernikahan sah, terdapat beberapa rukun wajib yang
harus dipenuhi ketika berlangsungnya
akad. Terdapat lima rukun di dalam akad nikah. Diantaranya adalah pasangan suami isteri, dua saksi, sighat akad, wali dari calon
mempelai isteri.
Tidak hanya itu, bahkan syariat islam mengatur ketentuan-ketentuan khusus
yang harus dipenuhi ketika berlangsungnya akad pernikahan. Salah satu diantaranya
adalah sifat adil yang harus dimiliki kedua saksi, shigat (ijab-qobul) yang
jelas, dan beberapa ketentuan-ketentuan lainnya yang banyak dijelaskan di dalam
kitab-kitab fikih.
Di dalam tulisan ini, penulis tertarik untuk membahas lebih spesifik tentang sifat adil yang harus dimiliki oleh kedua
saksi di dalam akad pernikahan. Tentang batasan-batasan sifat adil, kapan orang
bisa dikatakan adil, dan hal-hal lain di dalamnya.
Dengan alasan banyak sekali orang yang tidak tahu cara penentuan sifat adil itu sendiri. Bahkan terdapat sebagian
orang yang menganggap bahwa syarat tersebut terasa sulit apabila dikontektualisasikan
pada zaman sekarang. Sehingga mereka berani menafikannya dengan berlandaskan pada alasan tersebut.
Sebelum kita membahas lebih luas lagi, perlu
bagi kita untuk mengetahui definisi dari sifat adil itu sendiri. Di dalam
istilah bahasa arab sifat adil diistilahkan
dengan lafadz al-‘Adalah. Di dalam istilah syara’, sifat adil adalah sifat yang dapat menjauhkan orang dari melakukan
dosa-dosa besar serta mencegah dirinya untuk sering
melakukan dosa-dosa kecil.
Hal ini selaras dengan keterangan yang terdapat di dalam kitab
I’anatut at-Thalibin karya
Syekh Abu Bakr Utsman bin Syattha Ad-Dimyathi :
صفة العدالة : هي فقد ارتكاب كبيرة وإصرار على صغيرة.
Artinya : sifat adil adalah tidak melakukan
dosa besar atau menetapi dosa kecil
Namun sekarang yang menjadi permasalahan,
bagaimana cara penentuan sifat adil tersebut? Apakah perlu adanya penelitian dengan
cara melakukan pendekatan terhadap kedua orang saksi?
Jika kita tinjau di dalam kitab al-Fiqhu
al-Minhaji karya terdapat keterangan sebagaimana berikut :
يجب ان يكون الشاهدان عدلين ولو من حيث
الظاهر اي بان يكونا مستوري الحال غير ظاهري الفسق
Artinya : dua saksi akad pernikahan wajib
bersifat adil sekalipun di lihat dari dzahirnya (luarnya) saja. Seperti gambarannya kedua saksi tersebut tertutup keadaannya.
Maksudnya, tidak jelas melakukan kefasikan.
Di sana dijelaskan bahwa sifat adil merupakan
kewajiban yang harus dimiliki oleh kedua saksi pernikahan. Menetapkan sifat
adil bagi keduanya cukup dengan melihat pada yang tampak saja. Tidak perlu
mengetahui pada realita keadaan sebenarnya kedua saksi tersebut.
Karena sifat adil bisa ditetapkan kepada kedua
orang saksi yang tertutup keadaanya (tidak diketahui keadaan sebenarnya).
Seperti halnya, mereka berdua pada kesehariannya tidak pernah terlihat
melakukan kefasikan. Maka hal ini, sudah dianggap mencukupi dalam menetapkan
sifat adil kepada mereka berdua.
Jadi, kesimpulannya dalam penetapan sifat adil cukup melihat pada dzahir
atau yang tampak saja. Tidak perlu meneliti hingga ranah batin ataupun keadaan
sebenarnya. Sehingga sebagian orang yang menganggap penetapan sifat adil kepada
kedua saksi pernikahan merupakan sesuatu yang sangat ideal, anggapan seperti
itu tidak berlandasan sama sekali.
Komentar
Posting Komentar